"Menemukan sesuatu hingga menjadi begitu berarti"

AKU DAN KAMU

Edisi 7 Oktober 2018


Siapa orang yang berjasa dalam hal ini? Siapa orang yang paling baik di sini? Siapa manusia super rajin pada instansi ini? Jawaban paling ringan dan cepat, walaupun tanpa pikir panjang adalah “aku”. Sementara jika pertanyaannya dibalik, yang jelek-jelek justru yang diajukan dalam pertanyaan, misalnya; Siapa pegawai yang paling malas di sini? Siapakah orang yang tidak sopan di sini? Siapa orang yang kerjanya paling lambat di sini? Untuk menjawab pertanyaan yang mayoritas isinya kurang bagus, ucapan yang paling sering dilontarkan adalah “kamu”, sebagai kata yang dipilih untuk mewakili kata ganti orang dari sekian kata ganti yang ada. Intinya, bahwa pada saat menjawab yang buruk-buruk, selalu dilimpahkan kepada orang lain. Baik itu kata “kamu”, “dia”, “mereka”, sebagai tempat pelampiasan predikat jelek paling populer. Dan sangatlah jarang, orang yang secara jujur mengakui kejelekan yang disandangnya.





Tarik ulur tentang “aku” dan “kamu”, selalu saja menjadi perdebatan batin yang menghebohkan. Sebab, pertarungan jiwa yang menggelora di zona perasaan, senantiasa menjadi tolok ukur kemuliaan atau kehinaan hati seseorang di hadapan Qodhi Robbul Jalil, Dia-lah Hakim seadil-adilnya. Kata hati adalah sesuatu yang tak kasatmata, sehingga sangat sulit dimaknai jika hanya mengandalkan pancaindra semata. Penilaian mata yang dipergukan untuk menilai hati, seringkali tersalah, karena sebatas dari apa yang dilihat dan didengar. Sementara kata hati, terus-menerus akan mengalami gerakan fluktuasi yang sangat rahasia, bermuara dari bisikan yang diterimanya. Bisikan baik, akan mewujudkan action kebaikan sesuai pada jalurnya. Bisikan jelek, mengakibatkan kiprah kejelekan yang semuanya dapat dirasakan dengan riil tanpa menggunakan alat bantu apa pun.

Kata “aku” selalu digambarkan dengan hal-hal yang berbau egois. Aku adalah senada dengan lambang keberanian. Aku juga diidentikkan dengan julukan kesombongan. Bergantung pada situasi bagaimana kata “aku” disandarkan. Misalnya saja, pada kondisi paling aman dan enak, maka buru-buru pilihan kata pun jatuh pada kata “aku”. Sementara manakala situasi berubah menjadi tidak nyaman dan tidak enak, kata yang paling ringan untuk diucapkan adalah “kamu”. Jadi, antara “aku” dan “kamu” seringkali berbanding terbalik penggunaannya, tergantung pada kehalusan, kekasaran pribadi serta konteks tujuan terselubung yang bagaimana, akhirnya juga akan sampai ke sebuah titik yang diniatkan tersebut .

Mengapa manusia acapkali melimpahkan sesuatu yang jelek kepada orang lain? Akan tetapi, kurang jentelmen untuk mengakui kejelekan yang dimilikinya? Sungguh, ini disebabkan oleh adanya keinginan agar prestise yang dimilikinya naik daun. Demi prestise, kadang orang lupa prestasi. Prestasinya tidak ada, namun selalu mendambakan prestise. Inilah golongan pribadi yang kurang introspeksi diri. Ada juga, orang yang punya prestasi, dan acapkali menonjolkan prestisenya di mana pun berada. Orang ini lambat laun akan disebut sebagai manusia yang kurang percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Begitu khawatir jika dirinya tidak kelihatan hebat di hadapan manusia lainnya. Sebagai solusinya, diambil langkah selalu menyebut-nyebut kebaikan, prestasi yang ada pada dirinya. Padahal, sikap demikian sebenarnya justru sering menjadi bumerang. Namun, yang pasti adalah dari segala apa yang tersurat dalam kehidupan, selalu tergantung pada niat. Sampai kapan pun, niat itulah yang tertulis di sisi Sang Khalik. Kebaikan, kendatipun tidak digembor-gemborkan akan tetap terdeteksi secara abadi.

Sejatinya, orang yang benar-benar baik itu, mampu membuat orang lain menjadi baik pula. Bahkan, ada yang sangat bersahaja rela berdiri di belakang layar atas kebaikan, prestasi orang lain. Dirinya akan merasa puas, jika sanggup menjadi perantara kebaikan. Keberhasilan yang mampu digapainya, merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, melainkan merasa tetap ada andil orang lain. Begitu juga, jika orang lain berhasil, ia akan selalu bercita-cita ikut mewarnai kebaikan siapa pun, walau tanpa sepengetahuan si pemilik kebaikan tersebut. Dengan demikian, kekacauan antara “aku” dan “kamu”, akan mendapatkan jalan keluar, pada saat masing-masing diri mau mengakui bahwa dirinya mempunyai kelemahan, di samping kelebihan yang dimiliki. Tapi ingat, orang lain pun mempunyai hal yang sama. Orang lain, juga mempunyai kelebihan, di samping kelemahan yang disandangnya.

Klimaksnya, benturan antara egoisme “aku” dan “kamu” semoga segera dapat diakhiri. Manakala manusia mau dan rajin bermuhasabah. Muhasabah membuat pribadi seseorang menjadi anggun. Berbuat baik, berprestasi, namun tetap dalam koridor sadar diri. Bahwa segalanya tidak lepas dari campur tangan-Nya. Apa yang patut disombongkan di hadapan Yang Maha Besar? Apa yang layak dibangga-banggakan di hadapan Yang Maha Mengetahui? Segalanya perlu diuraikan, “aku” dan “kamu” selayaknya sama-sama ditempatkan pada proporsi yang semestinya. Tidak perlu memonopoli dan merampas hak orang lain. Berjalan seimbang menapaki trotoar kehidupan dengan tetap memasang niat bagus, sebagai modal dasar merangkai ujaran “aku”, “kamu” memang layak berpredikat baik-baik selalu.




No comments:

Post a Comment