Edisi 15 September 2018
Adakah juara tanpa lomba? Tentu ada, jawabnya. Yakni, manakala kata juara dianggap dan dijadikan sebagai akronim sehingga hasil dari gabungan pada kata juara itu sendiri dinisbahkan pada arti lain. Juara = Jujur Bersuara. Pada makna ini, terkandung iktikad baik dalam menjunjung tinggi kejujuran. Bila yang menjadi idaman adalah luhurnya budi pekerti, tentu keinginan untuk menjadi juara setiap saat, seyogianya menjadi tujuan hidup yang terhujam dalam sanubari setiap pribadi. Bisa bersuara, berani bersuara, akan tetapi bila belum bisa dan tidak berani jujur dalam bersuara, akibatnya akan menjelma menjadi pundi-pundi kesalahan. Muncul kebohongan sebagai lawan dari kejujuran. Kebohongan dalam bersuara pada hakikatnya berdampak merugikan diri sendiri dan orang lain. Akumulasi bohong demi bohong yang dilakukan, dapat meruntuhkan identitas diri di hadapan sesama makhluk dan Sang Pencipta. Memulai hari-hari yang dilalui dengan Juara, Jujur Bersuara adalah sebuah niat suci yang pasti diridhoi. Perilaku jujur kepada siapa pun adalah bentuk loyalitas tertinggi sebagai manifestasi seorang hamba dalam menjunjung moralitas serta bukti ketaatannya.
Sumber: Koleksi Pribadi |
Juara dalam lomba mempunyai arti
menang dalam pertandingan atau perlombaan. Seseorang akan dianggap hebat jika
dialah yang terhebat dari yang hebat. Dialah yang terbaik dari yang dianggap
baik. Dialah yang terpandai dari yang disebut-sebut pandai. Tapi, satu hal yang
perlu dicatat bahwa juara dalam sebuah kompetisi pertandingan terikat dengan
adanya syarat dan ketentuan yang berlaku. Dengan istilah yang lebih populer
disebut sebagai “aturan main”. Jika aturan main ditaati, maka
perlombaan/pertandingan akan punya wibawa dan berbobot. Namun, jika aturan itu
justeru yang dibuat “main-main”, maka tumbuh peluang adanya embrio jatuhnya
martabat sebuah lomba. Menjunjung tinggi etika dari aturan main merupakan
syarat mutlak munculnya pertandingan/perlombaan yang berkualitas. Setiap
tatanan yang diberlakukan, tentu akan menjadikan semua peserta patuh menerima
serta merasa lega dan puas akibat transparansi alat penilaian yang bekerja
melalui sistem operasional super obyektif. Ada empat efek yang ujung-ujungnya
mampu mewarnai suasana hati pada saat berlomba. Senang dan puas, karena menang
sesuai aturan. Sedih tapi lega, karena kalah namun sesuai aturan. Malu dan
terbebani, ketika menang tidak sesuai aturan. Kecewa berat, sewaktu kalah dan
tidak sesuai dengan aturan. Dan begitulah, masing-masing ternyata mendatangkan
efek suasana batin yang berbeda-beda.
Adakah juara tanpa lomba? Tentu ada, jawabnya. Yakni, manakala kata juara dianggap dan dijadikan sebagai akronim sehingga hasil dari gabungan pada kata juara itu sendiri dinisbahkan pada arti lain. Juara = Jujur Bersuara. Pada makna ini, terkandung iktikad baik dalam menjunjung tinggi kejujuran. Bila yang menjadi idaman adalah luhurnya budi pekerti, tentu keinginan untuk menjadi juara setiap saat, seyogianya menjadi tujuan hidup yang terhujam dalam sanubari setiap pribadi. Bisa bersuara, berani bersuara, akan tetapi bila belum bisa dan tidak berani jujur dalam bersuara, akibatnya akan menjelma menjadi pundi-pundi kesalahan. Muncul kebohongan sebagai lawan dari kejujuran. Kebohongan dalam bersuara pada hakikatnya berdampak merugikan diri sendiri dan orang lain. Akumulasi bohong demi bohong yang dilakukan, dapat meruntuhkan identitas diri di hadapan sesama makhluk dan Sang Pencipta. Memulai hari-hari yang dilalui dengan Juara, Jujur Bersuara adalah sebuah niat suci yang pasti diridhoi. Perilaku jujur kepada siapa pun adalah bentuk loyalitas tertinggi sebagai manifestasi seorang hamba dalam menjunjung moralitas serta bukti ketaatannya.
Kendatipun dalam praktik Juara, Jujur
Bersuara, tidak diikutkan dalam sebuah event
lomba seperti lazimnya sebuah turnamen. Namun, justru umat manusia dalam
pelaksanaannya diharapkan seperti sedang mengikuti lomba bahkan sangat
dianjurkan. Jujur itu baik dan mulia. Berlomba-lomba dalam menggapai kebaikan,
sungguh merupakan kondisi yang tidak sia-sia dan tidak bakal tersia-siakan. Dimulai
untuk juara, jujur bersuara pada diri-sendiri, juara pada lingkup keluarga dan
lingkungan, hingga juara yang tertebar di mana pun berada. Pada saat semua
orang sampai ke sebuah titik suasana budaya berlomba-lomba untuk jujur
bersuara, niscaya dunia akan terang bernderang dihiasi oleh lisan-lisan juara
yang penuh dengan keluhuran hakiki. Meskipun, kadang rintangan datang
menghampiri pelaku juara, namun sampai kapan pun kejujuran dalam bersuara akan
selalu berkilau menemui jati diri sebagai pemenang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment