Edisi 13 Agustus 2018
Bicara mengenai Pendidikan, selalu saja yang menjadi buah bibir adalah anak. Hampir semuanya mengenyampingkan untuk membahas orang tua, apalagi untuk dijadikannya sebagai topik. Kegagalan anak dalam belajar, rata-rata yang disudutkan adalah anak dan guru. Sejauh ini, sangat jarang yang mengampanyekan tentang kehebatan peran keluarga dalam pendidikan anak. Padahal, banyak orang berhasil berangkat dari motivasi keluarga yang begitu besar. Atau ada yang gagal dalam pendidikan karena imbas dari situasi sebuah keluarga yang tidak mendukung kinerja pendidikan itu sendiri.
Ketika mendengar slogan
bahwa rumah (Keluarga) adalah merupakan Sekolah Pertama bagi anak-anak,
seharusnya hal ini menimbulkan rasa NGERI bagi orang tua selaku top
leader dalam keluarga. Mengapa? Setidaknya karena tanggung jawab yang
begitu besar telah menanti yang harus segera diembannya. Jika tidak, maka
selaku orang tua mungkin akan menuai rasa malu, rasa kecewa, rasa frustrasi
terhadap anak di kemudian hari.
Bersyukur, bila memang
rasa NGERI itu yang hinggap, karena dengan bermodalkan perasaan tersebutlah
yang kemudian menjadi power untuk selanjutnya bisa
melakukan action selaku orang tua agar selalu berupaya
menciptakan keluarga yang ingin berhasil dalam mendidik anak. Alangkah
menakutkan, jika dalam lingkungan keluarga saja anak sudah merasa gagal. Atau
alangkah lebih mengerikan, bila punya keluarga, tetapi anak merasa seperti
tidak punya keluarga. Apalagi, bila anak sudah dihinggapi rasa antipati
terhadap keluarganya sendiri. Ini adalah merupakan musibah terbesar bagi orang
tua. Menciptakan suasana keluarga yang mampu menimbulkan rasa memiliki
merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi para orang tua.
Mendengar kata keluarga,
tentu yang terbayang bukan hanya sekedar ibu, bapak saja. Lebih lengkap dari
itu yang dimaksud keluarga adalah orang seisi rumah. Mengapa selama ini kata
keluarga lebih didominasi oleh ibu dan bapak sebagai orang tua saja? Tentu,
karena mungkin merekalah yang berperan sebagai nahkoda dalam keluarga. Sebuah
keluarga yang menjunjung tinggi arti pendidikan, sudah barang tentu akan banyak
apresiasi yang berhubungan dengan pendidikan dalam lingkungan keluarga
tersebut. Tugas terberat bagi orang tua dalam keluarga adalah, bagaimana
menanamkan sekaligus menyadarkan kepada orang seisi rumah bahwa pendidikan
adalah hal nomor satu yang mesti diutamakan.
Ketika ada salah satu
anak tidak berangkat sekolah, maka lihatlah banyak yang menanyakan kepada anak
tersebut; mengapa tidak berangkat sekolah. Dimulai dari ayah, ibu, kakak,
kakek, nenek atau orang yang tinggal bersama dalam keluarga tersebut. Seakan
tujuan mereka sama, persepsi mereka terhadap pentingnya pendidikan pun tiada
berbeda. Namun, bila salah satu saja dari anggota keluarga mendukung proses
penurunan makna pendidikan, maka tak ayal lagi saat ada salah satu anggota
keluarga sedang malas sekolah, kuliah, membaca buku pendidikan atau menuntut
ilmu yang lain, reaksi untuk menentang kemalasan hampir tidak pernah dilakukan.
Dampak dari itu, mereka akan merasa aman dan biasa saja jika perasaan malas
menghampiri. Ini akibat dari suasana keluarga yang tidak terlalu
mengistimewakan pendidikan.
Tidak kalah urgen dari
peran keluarga, masyarakat sekitar pun turut mempunyai andil besar dalam
membentuk keberhasilan anak di jenjang pendidikan. Dukungan kebaikan yang
dilakukan anak-anak, lalu mendapat applause
dari masyarakat merupakan cermin kepedulian lingkungan kepada hal ikhwal
kemajuan pendidikan ke arah yang lebih baik.
Dalam perkembangannya,
ditopang oleh kemajuan teknologi yang pesat, maka dapat dipastikan tantangan
dan tugas keluarga untuk mengawal anak hingga berhasil dalam hal pendidikan pun
kian berat. Ada beberapa jurus yang perlu dicermati oleh orang tua guna
mengawal anak-anak dalam rangka mendukung keberlangsungan pendidikannya:
1 Jurus
Menanamkan Konsep Dasar Pendidikan
Pondasi paling kuat
sebuah keluarga guna menyelamatkan pendidikan anggota keluarganya adalah dengan
menanamkan sebuah konsep bahwa pendidikan harus dijunjung tinggi dan
diistimewakan. Manakala seluruh anggota keluarga telah satu visi dan misi,
hasilnya akan dirasakan betapa mereka akan giat saling mendukung keberhasilan
anggota keluarga untuk mencapai prestasi puncak. Sebuah keluarga dengan pondasi
kuat yang memiliki konsep pendidikan akan menjadikan langkah masing-masing
anggota keluarga menjadi terarah. Mereka bahu-membahu menghadapi rintangan yang
menghalangi keberhasilan pendidikan. Memandang rendah kepada anggota keluarga
yang malas menuntut dan berjuang untuk memperoleh ilmu merupakan sikap kompak
yang mesti dipopulerkan di kalangan anggota keluarga, sehingga dengan
sendirinya masing-masing pribadi akan merasa risih bila malas atau membolos
pada jam-jam pelajaran formal misalnya.
2 Jurus Mau
Mengerti Teknologi Tinggi
Dengan menyadari bahwa
anak-anak berada pada jaman teknologi tinggi, hal ini membuat orang tua lebih
waspada dan harus tinggi pula keinginannya untuk bisa menguasai teknologi yang
dipakai dan dipelajari oleh anak. Dengan begitu pengawasan terhadap anak-anak
diharapkan dapat dilakukan secara maksimal. Bagaimana mereka berperilaku dan
beraktifitas, dapat dimata-matai melalui facebook, twitter, whatsapp (wa), bb,
line, dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini tidak mungkin dilakukan jika
orang tua gaptek (gagap teknologi). Yang ada malah mungkin orang
tua yang sering dibohongi dengan berbagai informasi tidak jelas dari sang anak
yang kadang tidak jarang orang tua yang justru kecolongan karena terlalu
mempercayai anak begitu saja tanpa mau tahu keadaan yang sebenarnya.
Sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id |
Kendatipun perihal
memata-matai dapat saja dilakukan dengan jalan meminta bantuan orang lain untuk
menggantikannya, namun akan lebih jeli dan bertanggung jawab bila hal tersebut
dilaksanakan oleh orang tua sendiri. Dengan jalan ini bukan berarti orang
tua telah memilih cara kekerasan dalam mendidik anak. Akan tetapi bukankah
proteksi terhadap anak itu tetap diperlukan selagi masih ada celah toleransi
tidak terlalu kaku.
3 Jurus Doktrin
Religi
Bahkan inilah kekuatan
paling jitu untuk mengendalikan anak. Dengan agama, mereka terbiasa dengan
kebaikan. Menuntut ilmu adalah sesuatu yang dapat mengangkat derajat seseorang.
Jadi dengan demikian, maka setiap pribadi yang taat akan senantiasa membiasakan
diri untuk selalu haus dengan pendidikan. Apa pun yang dilakukan dalam rangka
mencari ilmu bernilai ibadah, sehingga hal ini akan memberikan sugesti
terdahsyat dan mampu untuk mengusir rasa malas, minder dan segala sesuatu yang
mengakibatkan diri seseorang memperoleh predikat negatif nantinya. Tidak ada
perilaku sia-sia yang dikerjakan, karena memang agama mengajarkan hal-hal yang
sangat berarti sehingga sanggup menjadi filter dalam menghadapi pergaulan atau
segala sesuatu yang berkenaan dengan budaya bebas yang akan memecah etika
bahkan estetika.
Selama agama
dijadikan pegangan, maka dunia pendidikan seharusnya berjalan selaras dengan
UUD 1945 yakni: “… mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia….”. Keluarga yang tak henti-hentinya dan tak
bosan-bosannya selalu mengajak kepada anggota keluarganya untuk melaksanakan
norma agama, tentu merupakan bekal terbaik bagi anak-anak di lingkungan
pendidikan formal.
4 Jurus Sahabat
bagi Anak
Kalau Aris Toteles
menyatakan Zoon Politicon, , maka senada dengan itu Adam Smith menyebutnya
dengan istilah Homo Homini Socius bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
mempunyai makna manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Kodrat manusia
yang ingin berinteraksi dengan lainnya, harus dituruti dengan penuh hati-hati
dan jiwa yang teliti. Karena tidak sedikit, dari hal salah dalam memilih
sahabat, berujung dengan penyesalan akibat salah langkah. Keluarga, dalam hal
ini kedua orang tua atau orang lain yang dituakan dalam keluarga tersebut,
seyogianya mampu tampil sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Kalau saja orang tua
dalam keluarga dapat menjadi sosok seperti seorang sahabat, niscaya anak-anak
akan merasa nyaman dan enjoy.Apakah kemudian sosok orang tua
seperti ini akan menjadikan wibawa orang tua anjlok?
Sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id |
Tidaklah akan demikian,
bila sebelumnya pada diri anak telah terpatri konsep dan doktrin religi dengan
baik. Sahabat anak, jika banyak tergantikan oleh orang lain, sementara orang
tua kurang jeli memberi arahan tentang betapa pentingnya sahabat yang baik
dalam mendukung pendidikan, kadang sahabat justru menjadi bumerang.Biarkanlah
dan dengarkanlah saat anak mengeluhkan sesuatu mengenai hal – ikhwal
pendidikan. Misalnya, tentang kawan yang nakal, guru yang membosankan,
kurikulum dan buku yang selalu ganti dan masih banyak hal lain dan mungkin
lebih kompleks. Ini berarti bahwa anak masih ingin curhat dengan
orang tua sebagai bagian terpenting dari keluarga.
5 Jurus
Idola
Sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id |
Apa yang menjadi idola
anak, tentu sangat memengaruhi pola dan gaya hidup anak tersebut. Jadi,
setidaknya orang tua harus berusaha tahu siapa yang diidolakan oleh
putra-putrinya. Bila memang ada tokoh pendidikan atau setidaknya orang berilmu
yang menjadi idola mereka, orang tua patut bersenang hati. Langkah dan perilaku
anak, tentu dengan sendirinya akan mengikuti tokoh yang diidolakan. Kalau saja,
tokoh yang diidolakan itu adalah bertabiat baik, maka ada harapan anak akan
menjadi baik pula. Maka, khusus seputar ini, dapat kiranya keluarga menuntun
dengan cara menyuguhkan cerita orang-orang sukses.
6 Jurus
Motivator bagi anak
Sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id |
Siapa pun itu, dalam
hidup membutuhkan motivator. Inilah penggerak utama sehingga anak tekun dalam
belajar, anak giat dan mau dalam aktivitas pendidikan yang lain ternyata karena
motivator yang diberikan itu luar biasa. Motivator yang diberikan keluarga
kepada anak tentu beragam; dari yang hal yang ringan hingga pada janji yang
fantastis. Ada yang dibelikan boneka, sepeda sampai kepada tawaran pergi ke
kolam renang, ke tempat nenek. Bahkan ada orang tua yang menjanjikan
melanjutkan pendidikan sampai ke Perguruan Tinggi. Walaupun tidak boleh
menyepelekan dengan fungsi nasihat ringan, tapi terarah justru kadang mampu
menjadi motivator positif bagi anak.
Tentu saja setiap
individu terpaut dan berada dalam lingkungan masyarakat. Hal ini adalah sesuatu
yang patut disyukuri. Namun, perlu mendapat catatan bahwa masyarakat mempunyai
peran penting dalam keberlangsungan pendidikan, baik itu formal maupun non
formal. Warna yang diberikan oleh masyarakat dalam hal ini, justru sangat
kental. Oleh karena itu, orang tua harus pandai-pandai memberi pengertian
kepada anak tentang hal-hal yang boleh ditiru dan hal-hal yang harus
ditinggalkan dari karakter, kejadian yang bersumber dari masyarakat. Orang tua
dan para tokoh masyarakat sangat ideal, apabila mereka bekerjasama, berjibaku
dalam memberlakukan norma-norma positif yang mendidik sehingga mampu dijadikan
teladan serta bekal abadi demi kecermelangan di bidang pendidikan.
8 Jurus mengiringi
cita-cita dengan doa
Sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id |
Mengenai kekuatan doa
sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam hal ini, orang tua tidak boleh lelah
untuk selalu mendoakan anak-anaknya guna mencapai keberhasilan. Kemujaraban doa
dari orang tua pun tak terbantahkan lagi. Jadi, jangan sia-siakan keistimewaan
yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta kepada orang tua dengan lalai dari doa.
Senantiasa membiasakan diri dengan melepas kepergian anak saat hendak menuntut
ilmu dengan doa merupakan tradisi apik yang patut dilanggengkan. Sebab, kadang
ada sesuatu yang tidak dapat diubah melainkan hanya dengan kekuatan doa.
Dari beberapa jurus yang
ditawarkan oleh penulis, diharapkan mampu menopang keberlangsungan pendidikan
anak dan menjadi catatan penting bagi orang tua. Sehingga generasi kini dan
mendatang akan selalu respek terhadap pendidikan dari akibat peran keluarga
yang piawai mengemban amanah bahwa Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Sementara,
masyarakat adalah pendukung, penilai, dan sebagi tempat anak-anak belajar
bersosialisasi, serta sebagai wahana berinteraksi demi suksesnya di Satuan
Pendidikan.
#sahabatkeluarga
REFERENSI:
No comments:
Post a Comment